Minggu, 05 Januari 2014

Let's Start Talking About LIFE! : Baru Tahun 2014

Selamat Baru Tahun 2014!

Kebalik?
Enggak kok. Ga kebalik.
Emang "Baru Tahun 2014", bukan "Tahun Baru 2014".

Biar gak mainstream??
Enggak kok. Bukan itu.
Emang ini baru tahun 2014 kan.
Belum tahun 2020, atau 2030, atau 2000-berapapun yang menandakan saya sudah tua, sudah bau tanah, atau dunia sudah mau kiamat.

Terus kenapa kalau baru tahun 2014??? *mulai kepo

Begini ceritanya.

                                                                                                                                                                


Liburan panjang sekiranya memang yang paling siswa dambakan.
Mereka penat dengan tugas, ulangan, nilai, dan apapun yang menjadi kewajiban mereka di sekolah.
Mereka berharap bisa refresh otak mereka dengan games, films, canda tawa bersama teman, dan hal-hal menyenangkan lainnya.
Mereka berharap bisa bebas dari apaaaaa saja.

Tapi. Lain halnya dengan saya.
Saya memang mendambakan liburan panjang ini. Saya pikir, "Wah akan sangat menyenangkan!"
Saya pikir.

Tapi. Kenyataannya berbeda.
Alih-alih menghilangkan penat, saya malah bertambah-tambah-tambah mumet.
Liburan panjang membuat saya memiliki waktu luang yang panjang juga.
Waktu luang di mana saya tidak terpaksa memikirkan sesuatu yang menjadi kewajiban saya.
Dan dengan keluangan pikiran itu,
saya malah memikirkan hal-hal mengerikan.

Semisal.
Saya melihat akun media sosial teman saya yg sudah sangat sukses dengan biola klasiknya.
Saya menonton video yg abang saya rekam, seorang penyanyi bersuara tinggi dengan usia baru 13 tahun.
Saya membaca kicauan seorang member idol grup yg satu sekolah dengan saya.
Saya memandangi lukisan indah karya seseorang dengan umur sebaya saya.
Saya mengagumi seorang dancer keren di NezAcademy yang ternyata masih duduk di bangku SMA.

Bukan.
Keberhasilan mereka bukanlah hal-hal mengerikan yg saya maksud.
Tapi perasaan gagal saya lah yg mengerikan.

Saya merenung.

9 tahun les piano, hasilnya gak kunjung memuaskan. Bahkan seringkali hanya bikin patah hati. Akhirnya punya kesempatan ngajar piano, tapi gak pede dengan secuil ilmu yang saya punya. Kasihan nanti murid yang dapet saya sebagai gurunya, ilmunya masih cetek!

2 tahun lebih berdebat. Mengetuai Debating Land Community of Smanitra (DeLaCoSta) aka DLC.
Tapi hanya bisa menelurkan 1 piala juara 3 tarki cup, 1 piala champion CC cup, dan hanya bisa sampai pre-quarter di binus dan octo di alsa.

Ngarang satu buku lagu. Tapi gak berani ngasih ke siapapun. Takut dibajak, takut ditiru, takut ternyata plagiarisme yang saya gak sadari, takut perasaan yang saya tumpahkan di lagu-lagu itu ketahuan, dan banyak ketakutan lainnya.

Pada akhirnya, saya tau dan paham, bahwa saya takut bertindak.
Saya takut unjuk bakat, karena yang mereka nilai adalah kemampuan saya, bukan ekspresi saya.
Saya takut ikut kompetisi lagi, karena yang mereka nilai adalah skill, bukan musikalitas.
Saya takut debate lagi, karena banyak moral agama yang harus saya lawan kalau ingin menang.
Saya takut menyebarluaskan sebuah lagu, karena seringkali berakhir pilu.

Ketakutan bertindak itulah yang mengerikan.

Karena, ketakutan itu berdampak buruk, sangat buruk.
Saya gak bisa seperti mereka yang di usia mudanya, di usia yang sama seperti saya, mampu mencapai kesuksesan-kesuksesan besar. Luar biasa.

Mereka orang-orang dengan bakat hebat, dan keberanian untuk bertindak hebat.
Sedangkan saya, adalah seorang pengecut yang mencurahkan segalanya hanya untuk memuaskan dirinya sendiri, melegakan berbuncah emosi yang menunggu dikeluarkan lewat karya-karya yang bisa ia buat, tanpa mengharapkan apresiasi atas itu semua.
Ups. Tepatnya, mengharapkan apresiasi, tapi takut bertindak, sehingga melupakan impiannya untuk menggenggam sebuah prestasi.

Ketakutan demi ketakutan itu akhirnya berkolaborasi, yang bukannya menghasilkan motivasi untuk bangkit, malah menciptakan trauma pahit.
Trauma yang membuat saya malas menggali lagi apa yang sebelumnya dengan semangat saya gali.
Malas, takut, merasa sia-sia, itu dia.
Malas mendalami lagi, takut mempelajari lebih tekun lagi, dan merasa sia-sia, toh semuanya pada akhirnya cuma memuaskan diri saya sendiri. Gak bisa membuat orang lain kagum dan menghadiahi saya sebuah trophy.

Mengerikan bukan?

_________________________________________________________________________________

Tapi.
Seiring dibukanya kalender baru. Sejalan dengan petasan di langit biru. Senada dengan terompet merdu.
Saya menyadari bahwa ada sebuah dimensi yang menjadi bagian dari kegundahan saya tadi.
DIMENSI WAKTU.

Saya melihat mereka, dengan waktu hidup yang sama dengan saya, bisa mencapai hasil yang berkali-kali lipat dari saya.
Lalu saya sadar, dan saya melihat waktu.
Ternyata, Baru Tahun 2014.
Ya, baru tahun 2014. Saya baru 17 tahun tanggal 4 Januari kemarin.
Dan saya masih punya berpuluh-puluh tahun waktu hidup yang saya, atau mereka, tidak tau akan jadi apa.

Saya masih punya kekuatan determinasi pada DIMENSI WAKTU ini.
Akan jadi apa, akan bagaimana, akan berbuat apa.
Saya bisa melakukan semua itu sekarang, dan nanti, dan sampai seterusnya.
Saya tahu kalau saya punya waktu, saya bisa. Saya akan bisa. Saya harus bisa.
Dan saya punya waktu. Masih banyak!

Sehingga saya meyakinkan diri saya sendiri.
Einstein gak menemukan rumus saat ia masih di bangku sekolah.
Ia menjadi sosok yang hebat karena prosesnya mulai dari sekolah, dan puncaknya ketika dewasa dan tua.
Beethoven bahkan susah sekali disuruh latihan piano oleh ayahnya waktu dia kecil.
Tapi ia menjadi sosok yang besar karena prosesnya dari kecil itu, dan puncaknya ketika ia dewasa dan tua.

Persetan dengan orang lain mencapai puncaknya kapan!
Entah itu waktu kecil, atau umur 13 tahun, atau belum genap 17 tahun, atau masih SMA, atau ketika sudah hampir meninggal.

Yang perlu kita tahu adalah, kita punya kekuatan determinasi pada dimensi waktu.
Kita punya waktu. Alat yang sangat hebat. Teramat hebat untuk bisa mengubah semua isi dunia.

So, ngapain takut?
Selamat Baru Tahun 2014, Bung! :)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar